Cekungan Barito, yang menempati bagian barat Kalimantan Selatan dan bagian timur Kalimantan Tengah, secara geologi merupakan cekungan sedimenter yang terbentuk akibat gaya isostasi pengangkatan Pegunungan Meratus. Pegunungan Meratus sendiri merupakan rangkaian pegunungan lipatan tektonik yang menyingkapkan batuan-batuan metamorfik dan batuan kerak samudera berumur pra-Tersier, serta mengangkat batuan-batuan Tersier pembawa batubara dan hidrokarbon di sisi timur maupun barat rangkaian tersebut.
Saat ini, pusat (depocentre) dari Cekungan Barito ditandai oleh genangan rawa dan danau yang sangat luas di Propinsi Kalimantan Selatan, membentang ratusan kilometer persegi di daerah Kabupaten Tabalong di utara hingga Kabupaten Hulu Sungai Selatan di ujung selatan. Hal ini menandakan aktifnya penurunan cekungan yang terus berlangsung hingga kini. Di sana, sebagian besar air permukaan yang mengerosi Pegunungan Meratus mengalir perlahan dalam pola pengaliran deranged dan menggenang dalam waktu yang lama pada kantong-kantong rawa di sekitar aliran sungai, sebelum akhirnya bergabung dengan aliran Sungai Barito untuk bermuara ke Laut Jawa di pesisir selatan Kalimantan.
Secara ekonomi, tidak banyak yang bisa dilakukan terhadap lahan rawa sedemikian luas. Aktifitas ekonomi yang mengandalkan pertanian adalah berbasis pasang-surut (ladang padi gogo). Perikanan air tawar pun belum digarap dengan baik untuk mampu memberikan hasil optimal kepada masyarakat setempat. Selebihnya, ekonomi di daerah sepi ini ditopang oleh kemampuan urbanisasi dan migrasi penduduknya ke berbagai daerah di Kalimantan..
Meski demikian, terdapat dua jenis satwa bernilai ekonomis yang menarik untuk dilihat bila berkunjung ke kawasan ini, adalah bebek Alabio (ucapkan seperti bilang "I love You".. heheh..) yang merupakan persilangan bebek lokal dan bebek Peking, dan kerbau rawa (Latin: Bubalus bubalis) yang mampu berenang di air rawa. Keduanya telah lama diternakkan oleh masyarakat setempat. Khusus untuk kerbau rawa, bila berkunjung ke daerah penggembalaannya, yaitu Danau Panggang dan Negara, di sore hari akan disuguhkan atraksi menarik para penggembala dalam menggiring ratusan ternaknya ke kandang-kandang panggung (disebut kalang) di atas rawa. Menarik sekali.. mirip atraksi para koboy wild-wild west di Amerika sana.. bedanya ini para penggembala dengan perahu kecil bermesin (ketinting atau kelotok), bukan dengan kuda.. dan bukan pada scene padang pasir dengan kepulan debu, namun pada riak air rawa yang berwarna coklat pekat.
Tidak banyak yang mengetahui, bila di balik panasnya udara di atas rawa dan genangan air yang enggan untuk mengalir di kawasan tersebut, tersimpan sejarah panjang yang sangat penting dan bermakna di Nusantara.
Dimulai sekitar 200 tahun sebelum Masehi, terdapat kerajaan pertama di Pulau Kalimantan, bernama kerajaan Nan Sarunai (bermakna "Yang Termahsyur") didirikan oleh Suku Dayak Maanyan. Predikat "sarunai" sendiri tentunya bukan gelar kosong bagi suku maritim ini. Turut serta dalam penjelajahan negeri dan perdagangan rempah-rempah serta hasil hutan ke pulau-pulau Nusantara hingga ke Madagaskar dan India, penduduk Nan Sarunai sangat memanfaatkan lebarnya sungai Barito. Perjalanan dari pusat kerajaan (Lili Kumeah) di tepian Sungai Tabalong hanya menempuh waktu singkat untuk bergabung dengan Sungai Barito dan meluncur menuju Laut Jawa, ketika sebelum berkembangnya delta-delta di pesisir selatan Kalimantan yang ada saat ini. Kerajaan Nan Sarunai pun tumbuh stabil selama berabad-abad. Sebagai kerajaan berbasis suku, tidak ada politik ekspansif yang dianut oleh raja-raja Nan Sarunai, sehingga kerajaan ini tidak tercatat mengalami pembesaran wilayah. Meskipun berbasis satu-suku, Kerajaan nan Sarunai memiliki politik terbuka dan turut pula mengatur tata pemerintahannya seperti yang ada di Jawa dan Sumatra. Pernah diberitakan di tahun 2008 bahwa ditemukan satu perahu Kalimantan purba yang biasa dipergunakan di Kerajaan Nan Sarunai yang terkubur di Kota Rembang, Jawa Tengah yang diduga telah berusia sekitar 1000 tahun, yang menandakan memang telah ada komunikasi dagang antara Pulau Jawa dan kerajaan tersebut. Kerajaan Nan Sarunai seringpula disebut sebagai Kerajaan Kuripan atau Kahuripan.
Pada abad ke-11, terjadi kedatangan Suku Melayu Palembang dari eksodus petinggi Kerajaan Sriwijaya yang diserbu oleh Kerajaan Cola, India. Percampuran antara suku Melayu dan suku Dayak Manyaan ini lah yang diduga oleh para ahli kelak menurunkan cikal-bakal suku Banjar (urang Banjar) di kawasan ini.
Seiring dengan berubahnya geomorfologi pesisir selatan Kalimantan dengan pertumbuhan Delta Barito, semakin jauh pula perjalanan yang harus ditempuh oleh para saudagar Dayak Manyaan untuk menuju laut. Kemunduran ekonomi Kerajaan Nan Sarunai ternyata dibarengi dengan kemunculan satu kerajaan besar di Jawa yang memiliki semangat politik ekspansif yang sangat tinggi, Majapahit. Satu ekspedisi militer yang dikirimkan raja Majapahit, Hayam Wuruk, di tahun 1355, membuat Kerajaan Nan Sarunai harus meredup setelah ada selama 1500 tahun. Peristiwa ini, dituangkan dalam syair-syair puisi ratapan (wadian) berbahasa Dayak Maanyan dan dikenal sebagai "Usak Jawa" (artinya Penyerangan oleh Kerajaan Jawa).
Panglima Pasukan Hayam Wuruk, bernama Mpu Jatmika, kemudian membangun kerajaan baru, bernama Kerajaan Dipa, sebagai pengganti Kerajaan Nan Sarunai. Nama "Dipa" diambil dari bahasa Dayak Maanyan untuk kata "Dipah Ten" atau "Kerajaan di Seberang", sebagai tanda bahwa kerajaan baru ini menginduk kepada kerajaan utama (Majapahit) di Pulau Jawa. Meski datangnya melalui ekspedisi militer, peralihan dari Kerajaan Nan Sarunai menjadi Kerajaan Dipa berlangsung halus dan tanpa gejolak berarti. Dengan cerdik, mengamati mundurnya ekonomi Kerajaan Nan Sarunai akibat perubahan kondisi geografi Sungai Barito, Mpu Jatmika yang mengangkat dirinya sebagai penasihat Kerajaan Nan Sarunai mengusulkan kepada raja untuk memindahkan ibukota kerajaan ke pertemuan Sungai Bahan dan Sungai Barito, yaitu daerah Margasari, dan dikenal sebagai Candi Laras. Mpu Jatmika pun diangkat menjadi penguasa Candi Laras. Setelah mangkatnya raja terakhir Nan Sarunai, berakhir pula era Kerajaan Nan Sarunai, dan kemudian Mpu Jatmika diakui sebagai pendiri sekaligus penguasa pertama Kerajaan Dipa yang berpusat di Candi Laras, di tahun 1387.
Meski demikian, menyadari statusnya dan mengikuti ajaran Hindu yang dianutnya, Mpu Jatmika tidak berkenan menyebut dirinya Raja. Mpu Jatmika pun kemudian mempersiapkan keturunan raja terakhir Nan Sarunai, seorang putri cantik bernama Junjung Buih, untuk menjadi penguasa Kerajaan Dipa. Atas arahan Hayam Wuruk, Putri Junjung Buih kemudian dinikahkan dengan seorang pangeran dari Majapahit, yaitu Pangeran Suryanata. Pernikahan politik ini pun menandai suksesnya ekspansi kerajaan Majapahit ke salah-satu kerajaan terbesar Kalimantan saat itu. Selama beberapa tahun dan beberapa keturunan kemudian, anak dan cucu pasangan Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih pun memerintah Kerajaan Dipa, dibantu oleh Patih Mpu Jatmika dan keturunannya yang bijaksana, yaitu Patih Lambung Mangkurat (nama sebenarnya adalah Lembu Mangkurat).
Dalam masa-masa itu, karena seringkali terjadi banjir besar di aliran Sungai Barito, pusat pemerintahan pun dipindahkan oleh Mpu Jatmika dan Lambung Mangkurat ke arah hulu Sungai Bahan dan pertemuannya dengan Sungai Tabalong, yaitu daerah Candi Agung (saat ini terletak dekat Amuntai, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara).
Akhir dari Kerajaan Dipa ditandai oleh suatu tragedi keluarga, dimana karena satu kesalahan oleh Patih Lambung Mangkurat, terjadi pernikahan antara Ratu Kalungsu, penguasa Dipa saat itu, dengan seorang hartawan dari Jawa yang ternyata adalah Raden Sekar Sungsang, anak kandung Ratu Kalungsu yang telah lama hilang. Atas kejadian memalukan di tahun 1448 tersebut, Ratu Kalungsu merasa malu dan mengundurkan diri dari tampuk kepemimpinan, memberikannya Raden Sekar Sungsang, yang kemudian bergelar Raja Sari Kaburangan. Peristiwa tersebut juga memukul batin Patih Lambung Mangkurat hingga membuatnya meninggal dunia. Setelah peristiwa kelabu pernikahan ibu dan anak ini, Raja Sari Kaburangan pun memindahkan pusat pemerintahan ke Muara Hulak, dan berakhir lah era Kerajaan Dipa.
Muara Hulak terletak di tengah aliran Sungai Bahan, antara Candi Laras dan Candi Agung. Tak berapa lama, Muara Hulak pun dikenal dengan nama baru, Negara Daha (lazim disingkat menjadi Negara), sebagai tempat dimana negara baru didirikan oleh Raja Sari Kaburungan. Sungai Bahan pun berganti nama menjadi Sungai Negara. Kerajaan baru ini pun diberinama Kerajaan Daha.
Pada pemerintahan pengganti Raja Sari Kaburungan, yaitu Raja Sukarama, di tahun 1511 terjadi kedatangan pengungsi Kerajaan Melaka yang ditaklukkan oleh Portugis. Para pengungsi Melaka ini mengikuti jejak leluhurnya 4 abad silam dari Sriwijaya yang eksodus ke daerah aliran Sungai Barito. Para pendatang Melayu tersebut banyak bermukim di Muara Kuin, bergabung dengan keturunan leluhurnya asal Sriwijaya. Oleh Suku Dayak Maanyan, perkampungan pendatang Melayu tersebut dinamakan "Banjar Oloh Masih" yang artinya perkampungan Orang Melayu pimpinan Patih Masih. Lama-lama, Banjar Oloh Masih disingkat menjadi Banjarmasih, dan kemudian Banjarmasin.
Sementara itu, di Kerajaan Daha terjadi konflik perebutan tahta. Raja Sukarama ketika mangkat menunjuk cucu-keponakan kesayangannya yang bernama Raden Samudera menjadi pengganti. Hal ini membuat putera tertua Raja Sukarama, yaitu Pangeran Aria Mangkubumi, menjadi berang serta menyerang Raden Samudera dan pengikutnya. Raden Samudera pun menyingkir ke Banjarmasin, dan memperoleh simpati politik serta dukungan militer dari para pengungsi Melayu. Maka terjadilah peperangan antara Kerajaan Daha dan pengikut Raden Samudera. Untuk memperoleh kemenangan, Raden Samudera mencari aliansi politik kepada Kerajaan Demak, dimana Sultan Trenggono mengirimkan bantuan ekspedisi militer untuk memukul mundur pasukan Daha. Pada tahun 1526, Kerajaan Daha pun kalah dan runtuh, dan Raden Samudera mengangkat dirinya menjadi penguasa baru dengan gelar Sultan Suriansyah dan memeluk agama Islam. Sebagian prajurit Kerajaan Daha ditawan dan dibawa ke Demak, dimana mereka membentuk perkampungan orang-orang Negara di Desa Tadunan, Kecamatan Wedung, Demak, Jawa Tengah. Era Kesultanan Banjar pun berdiri dengan pusat di Banjarmasin. Seiring dengan pesatnya perkembangan Banjarmasin di tepian Sungai Barito, maka daerah rawa di aliran Sungai Bahan pun mulai terlupakan dan tertinggal dalam lipatan sejarah...
Negara, sebuah kampung kecil di aliran Sungai Bahan, adalah kampung asal ibu kandungku. Sebuah tempat yang pernah menjadi hiruk-pikuk pusat sejarah Kalimantan bagian selatan dan Nusantara, yang bertempat di sebuah pusat cekungan geologi yang turut menyumbang kekayaan negeri ini, Cekungan Barito.
Repost